Aster

 
      

       Sepertinya senja paham akan sendu yang aku rasakan. Lihat saja warna kelabunya, menemaniku yang duduk seorang diri di tepi danau tak beriak ini. Aku biarkan jemariku menari dan menciptakan goresan tinta dibalik foto seorang gadis berambut sebahu. 
       Dialah Aster, gadis yang terlihat dalam foto sedang menyunggingkan senyum sehingga lesung pipinya nampak jelas di mataku. Dia adalah penggemar embun. Kala itu aku dan Aster menghabiskan waktu liburan kami di sebuah vila di Puncak. Ketika sang Venus masih berpijar di timur, Aster mengajakku keluar menuju halaman. Dia melangkahkan kakinya seraya menggantungkan sebuah lentera di atas jemarinya. Dia lalu duduk diatas kursi tembaga yang berada di halaman vila. Aku berdiri membisu di hadapannya. Selang beberapa menit dia mendongakkan kepalanya membuat wajahnya menghadap langit yang masih pekat. “Aku selalu suka embun di pagi buta,” katanya pelan. Dadaku tiba-tiba sesak ketika melihat cairan berwarna merah pekat mengalir dari hidungnya. Aku melihatnya dari balik cahaya lentera yang temaram.
       Dan aku Dio, selalu disini. Di danau ini tatkala senja tiba. Dalam lamunan, aku mendengar Aster menyapa dari padang ilalang yang membelakangiku.
       Senja semakin kelabu, aku terlarut dalam tulisanku,

Untuk Aster
Aku telah merekam semua kenangan bersamamu dan aku memainkannya di dalam otaku ketika aku merindukan hari-hari bersamamu. Sungguh, hanya kenangan bersamamulah yang tak akan lekang oleh waktu.

        Bulir-bulir bening jatuh dari langit dan membuat goresan tinta yang telah aku ciptakan mulai memudar. Tinta itu semakin memudar manakala bulir-bulir bening lainnya jatuh dari pelupuk mataku. Aku mencintainya dari relung hati terdalam. Namun, Tuhan mencintainya lebih dari yang aku lakukan.

0 komentar:

Posting Komentar